1. Monemvasia
Monemvasia merupakan sebuah pulau berbatu seperti Gibraltar yang berada di lepas pantai timur Peloponnese, Yunani. Sebuah jalan lintas pendek menghubungkan pulau ini dengan daratan.
Dengan lebar sekitar 300 meter dan panjang 1 km, pulau ini berada seratus meter di atas permukaan laut. Di lereng dataran tinggi di pulau tersebut, di sisi yang menjorok ke laut, tersembunyi sebuah kota kecil yang indah.
Monemvasia mulai ditinggali sejak abad ke-6 oleh penduduk Laconia kuno yang mencari perlindungan dari penjajah Slavia, yang mendominasi sebagian besar wilayah Yunani antara 500 sampai 700 Masehi.
Pulau berbatu ini terpisah dari daratan karena gempa bumi pada 375 SM. Selama beberapa abad berikutnya, Monemvasia berganti kekuasaan, antara Venesia dan Turki, sampai kemudian dibebaskan selama Perang Kemerdekaan Yunani pada awal abad ke-19.
Nama Monemvasia sendiri berasal dari dua kata Yunani, mone dan emvasia, yang berarti pintu masuk tunggal. Istilah itu mengacu pada jalan lintas sempit yang menjadi satu-satunya akses untuk memasuki kota.
Monemvasia pernah menjadi kota utama dan salah satu pusat komersial dan pelabuhan dagang utama di era Byzantium, dengan jumlah penduduk mencapai 40.000 jiwa. Pada abad ke-18, Monemvasia ditinggalkan dan mulai dikunjungi lagi oleh wisatawan pada 1970-an.
Dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Monemvasia selama musim panas, otoritas setempat berusaha memulihkan bangunan-bangunan kuno di kota itu dan banyak dari mereka telah diubah menjadi hotel.
2. Kota Whittier
Kota Whittier di Alaska dihuni oleh sekitar 200 orang. Uniknya, mereka semua ternyata tinggal di kondominium yang sama. Kondominium itu bernama Begich Towers, yang terletak di pinggiran kota.
Selain dijadikan tempat tinggal bersama, kondominium itu juga dihuni oleh kantor polisi, klinik kesehatan, toko, tempat laundry, dan sebuah gereja yang berada di ruang bawah tanah. Ini benar-benar tak terbayangkan bagaimana misionaris, bartender, anggota dewan kota, polisi, dan bahkan pengedar narkoba dapat hidup berdampingan di gedung yang sama, berbagi fasilitas yang sama, dan naik di lift yang sama.
Kehidupan semacam itu mungkin bisa diadaptasi di Whittier, terutama karena ukuran dan kondisi cuaca di kota tersebut. Kota ini memang cukup sulit untuk diakses.
Anda hanya bisa sampai di sana melalui laut, atau mengambil panjang melewati salah satu jalur terowongan yang melintasi daerah pegunungan, yang hanya berjalan satu arah pada waktu tertentu. Dan pada malam hari, terowongan itu ditutup sepenuhnya.
Penulis Erin Sheehy, yang mengunjungi Begich Towers untuk The California Sunday Magazine, mengatakan bahwa bangunan itu tidak memiliki satu hal, yakni sekolah. Anak-anak di Whittier bersekolah di gedung yang terletak di belakang Begich Towers. Dan karena cuaca di kota itu cukup ekstrem, hanya ada satu cara bagi mereka untuk sampai ke sekolah. Mereka harus melewati sebuah terowongan bawah tanah untuk mencapainya.
Meskipun Begich Towers menawarkan banyak hal, masih ada beberapa orang di Whittier yang memilih untuk tidak tinggal di sana. Beberapa dari mereka tinggal di tempat lain, seperti di kondominium kecil tepat di atas rel kereta api.
Yang lain memilih untuk hidup di perahu mereka atau trailer bekas. "Banyak orang tidak tinggal di sini karena mereka pikir ini terasa seperti penjara," kata Terry Bender, penghuni Begich Tower. "Saya memberitahu semua orang bahwa kita semua hidup di rumah yang sama. Kita hanya memiliki kamar tidur yang terpisah.
Erika Thompson, seorang guru yang tinggal di Begich Towers selama lima tahun, mengatakan bahwa penduduk Whittier hidup cukup normal. "Beberapa orang menyukainya karena dapat benar-benar sosial, dan beberapa menyukainya karena bisa menjadi tertutup," jelasnya.
Didirikan pada tahun 1969, sembilan tahun setelah tentara pindah dari kota itu. Whittier dibangun dari awal oleh beberapa ratus warga sipil yang memilih untuk tetap tinggal di sana.
Mereka mulai bekerja untuk menciptakan sebuah kota baru bagi diri mereka sendiri. Penduduk kota ini juga memiliki moto yaitu: "Anda belum melihat apa-apa sampai Anda telah melihat Whittier."
3. Eski Kermen
Eski Kermen adalah sebuah kota dari abad pertengahan yang memiliki lebih dari 300 rumah gua. Kota ini terletak hanya 6 km dari Mangupa di wilayah Bakhchisaray, Crimea. Eski Kermen berada di atas salah satu gunung - yang rata di bagian atasnya - yang disebut mesa.
Gua-gua di Eski Kermen dibangun pada abad ke-6 dan dulunya digunakan sebagai tempat tinggal manusia. Masyarakat lebih memilih untuk tinggal di gua karena keselamatan mereka lebih terjaga.
Selama beberapa abad, rumah-rumah gua mulai tumbuh dan ditempati oleh ratusan orang. Selain rumah, masyarakat juga membangun tempat beribadah, seperti gereja.
Salah satu gereja yang dibangun di Eski Kermen masih memiliki lukisan dinding yang menggambarkan Kristus dan Maria, meskipun kini lukisan itu sudah terlihat aus.
Kota gua ini tetap dihuni sampai kedatangan bangsa Mongol pada abad ke-13. Namun karena Eski Kermen berada di daerah pegunungan, kota ini sulit dijangkau dan itu menjadi salah satu alasan kenapa kota ini menjadi kota terakhir yang ditaklukkan oleh Mongol.
Tak lama setelah Eski Kermen ditinggalkan oleh warganya, warga desa tetangga mulai menggunakan rumah-rumah gua untuk tujuan komersial. Kini, gua-gua Eski Kermen pun menjadi salah satu tujuan wisata yang populer di Crimea.
4. Green Bank
Green Bank di Pocahontas County di Virginia Barat, Amerika Serikat, mungkin adalah salah satu tempat paling tenang di bumi. Di sana, Anda tidak akan menemukan ponsel, Wi-Fi, radio atau bahkan televisi.
Meski begitu, Green Bank bukanlah daerah terpencil yang buta teknologi. Sebaliknya, Green Bank menjadi rumah bagi teleskop radio terbesar yang dikendalikan sepenuhnya di bumi - Robert C. Byrd Green Bank Telescope (GBT).
Robert C. Byrd Green Bank Telescope (GBT) dioperasikan oleh National Radio Astronomy Observatory. Keberadaan GBT menjadi alasan kenapa tidak boleh ada gelombang elektromagnetik lain di kota tersebut.
Teleskop radio bekerja dengan mendeteksi gelombang elektromagnetik yang datang dari galaksi. Sinyal itu begitu samar. Maka, emisi sekecil apa pun yang berasal dari gelombang radio atau dari gadget elektronik dapat mengganggu kerja alat tersebut.
Untuk alasan itu, ponsel, Wi-Fi, radio dan perangkat komunikasi lainnya dilarang di sini. Setelah berjalan beberapa mil dari kota ini, Anda tetap tidak bisa menemukan menara ponsel. Bahkan, mobil yang menggunakan bahan bakar bensin tidak diperbolehkan untuk memasuki kota ini, karena mesin berbahan bakar bensin menggunakan busi untuk membakar campuran bahan bakar- udara, dan bunga api listrik dapat menghasilkan gelombang elektromagnetik.
Untuk itu, zona bebas perangkat elektronik di sekitar Green Bank diperluas sejauh kurang lebih 13.000 mil persegi. Wilayah tersebut dinamakan National Radio Quiet Zone, dan terletak di sekitar pedesaan yang jarang dihuni yang melintasi perbatasan Virginia Barat, Virginia, dan Maryland.
Hampir semua jenis transmisi radio dan perangkat elektronik dilarang di sini. Hal itu dilakukan untuk memaksimalkan kerja Green Bank Radio Telescopes, sehingga mesin itu dapat bekerja tanpa gangguan.
Meski tampaknya mustahil hidup tanpa teknologi, ada 140 orang yang betah tinggal di kota ini. Jika mereka ingin berbicara dengan seseorang yang berada di luar kota, ada telepon umum yang disediakan untuk mereka.
Hidup di bawah bayang-bayang teleskop raksasa, beberapa warga bahkan tidak menyadari perkembangan teknologi di tempat lain.
"Kami tidak menyadari bahwa seluruh dunia ini semakin terhubung dan tetap terhubung terus-menerus, melalui telepon dan komputer dan semua itu (gadget)," kata penyiar radio Caleb Diller, yang dibesarkan di Pocahontas County, kepada NPR. "Jadi kami agak kuno. Kami belum berkembang."
Selama beberapa tahun terakhir, banyak orang memutuskan untuk tinggal di Green Bank. Kebanyakan dari mereka mengaku menderita hipersensitivitas elektromagnetik. Mereka memiliki gejala seperti pusing, mual, ruam, denyut jantung yang diakibatkan dari radiasi elektromagnetik.
"Hidup terasa tidak sempurna di sini," kata Diane Schou, salah satu orang yang datang ke Green Bank dengan suaminya pada tahun 2007 karena menderita hipersensitivitas elektromagnetik.
"Tidak ada toko, tidak ada restoran, tidak ada rumah sakit terdekat. Tapi di sini, setidaknya, saya sehat. Saya bisa melakukan banyak hal. Saya tidak perlu tinggal di tempat tidur karena sakit kepala yang saya rasakan sepanjang waktu," tandasnya.
5. Kota Dinosaurus
Di ujung utara China di perbatasan Sino-Mongolia, dekat kota Erenhot, Anda akan menemukan patung-patung dinosaurus. Salah satu di antaranya yang paling terkenal adalah dua patung dinosaurus yang terlihat seperti berciuman.
Kedua patung itu berada di kedua sisi jalan utama, yang sepintas tampak seperti gapura. Masing-masing pating memiliki lebar 34 meter dan tinggi 19 meter, dengan rentang mencapai 80 meter.
Di dekat dua patung raksasa itu, Anda akan menemukan beberapa patung dinosaurus lain dalam berbagai bentuk dan ukuran.
Erenhot atau biasa disebut Erlian, terletak di Gurun Gobi, di liga Xilin Gol, daerah otonomi Mongolia. Kota ini didirikan sebagai satu-satunya jalur perdagangan kereta antara Mongolia luar dan Mongolia dalam pada tahun 1950-an, tetapi daerah ini telah mendapatkan perhatian internasional sejak tahun 1920-an dengan ditemukannya fosil dinosaurus di Cekungan Erlian.
Kerap disebut Kota Dinosaurus, Erenhot dulunya adalah rumah bagi beberapa spesies dinosaurus. Dalam Periode Cretaceous, 70 juta tahun yang lalu, Erenhot adalah surga bagi para dinosaurus, di mana terdapat danau, rawa-rawa, dan hutan lebat. Lebih dari 20 spesies dinosaurus berkembang di kota ini, tetapi yang paling terkenal adalah Gigantoraptor erlianensis, predator yang memiliki bentuk menyerupai burung sepanjang 8 meter yang ditemukan di sana pada tahun 2005.
Banyak fosil yang telah ditemukan di daerah Erenhot, termasuk fosil dinosaurus yang paling besar dan awet di Asia. Selain memiliki boulevard yang indah, kota ini juga memiliki museum dinosaurus dan taman yang disebut "Dinosaur Fairyland".