Kota Palembang, memiliki satu jembatan yang selalu menjadi kebanggaan masyarakatnya. Namanya Jembatan Ampera. Jembatan yang mulai dibangun pada 16 September 1960 ini, menghubungkan antara bagian Ilir dan Ulu dari Kota Palembang yang dibelah oleh sungai Musi.
Jembatan ini memiliki struktur
Panjang : 1.117 m
Lebar : 22 m
Tinggi : 11.5 m dari permukaan air
Tinggi Menara : 63 m dari permukaan tanah
Jarak antara menara : 75 m
Berat : 944 ton
Sejarah Jembatan Ampera
Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ”Seberang Ulu dan
Seberang Ilir” dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman
Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat
Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan
banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq
berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu
tidak pernah terealisasi.
Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali
mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan
pembangunan jembatan kala itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk
na-ma Sungai Musi yang dilintasinya pada sidang pleno yang berlangsung
pada 29 Oktober 1956.
Usulan ini sebetulnya tergolong nekat sebab
anggaran yang ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya
sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan,
yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya,
Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya,
Walikota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya.
Tim ini melakukan
pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu. Usaha yang
dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang
didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil.
Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan
ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu
dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian
mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di
kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana
pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961,
dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).
Pembangunan jembatan ini dimulai pada tanggal 16 September 1960,
setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya
pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya
biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.
Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut
sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk
penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara
sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki
sebuah jembatan di atas Sungai Musi.
Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus
mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu,
jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara. Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan
anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan
Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).
Badan jembatan bisa diangkat
Pada awalnya, bagian tengah badan jembatan ini bisa diangkat ke atas
agar tiang kapal yang lewat dibawahnya tidak tersangkut badan jembatan.
Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua
bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya.
Kecepatan pengangkatannya sekitar 10 meter per menit dengan total waktu
yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit.
Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar
60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi
Sungai Musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi
kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan
meter dari permukaan air sungai.
Sejak tahun 1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini
sudah tidak dilakukan lagi. Alasannya, waktu yang digunakan untuk
mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya.
Pada tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara jembatan ini diturunkan untuk menghindari jatuhnya kedua beban pemberat ini.
Ampera kini
Seperti juga dinamika kehidupan yang terus bergerak, kini Jembatan Ampera semakin berbenah diri dan terus mengalami perubahan.
Jembatan bersejarah Ampera kini lebih indah lagi. LED Sign, lampu hias
berteknologi tinggi menghiasi jembatan tersebut. Kalau malam terlihat
betul lampu-lampu menyala berwarna-warni membentang di bibir, di
tiang, dan rangka jembatan. Lampu itu berubah–ubah secara otomotis. Jika
dilihat dari pelataran Benteng Kuto Besak (BKB), lampu itu bertambah
indah lagi.
Tujuan dipercantiknya Ampera
memang sangat beralasan. Walikota Palembang Eddy Santana Putra ingin membuat arus wisata ke
Palembang bergairah. Dia tidak ingin ada kesan jembatan ini kumuh, tidak
terawat. Padahal jembatan ini masuk aset sejarah dan wisata yang bisa
mendatangkan income tersendiri. Pemkot sendiri sudah memprioritaskan
anggaran kepada sektor penting seperti pendidikan, kesehatan dan aspek
sosial lainnya.
Bagaimana...?
Tertarik untuk ke Palembang dan melihat jembatan kebanggaan 'wong kito' ini.
0 Response to "Jembatan Ampera, dari dulu hingga kini"
Posting Komentar
Terimakasih telah memberikan komentar disini.